Nabi Muhammad SAW, bersabda: "Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-
Nya dalam penampilan hamba-Nya". (HR: Tarmizi). Hadis ini beriringan
dengan tujuan firman Allah bahwa "Dan barang siapa bersyukur, maka
sesungguhnya ia mensyukuri dirinya sendiri dan barang siapa yang kufur
maka sesungguhnya Tuhan-Ku maha kaya lagi mulia". (QS: an-Naml, ayat: 40).
1. Bersyukur dengan hati
Syukur dengan hati dilakukan dengan menyadari sepenuhnya bahwa nikmat yang diperoleh adalah semata-mata karena anugerah dan kemurahan Ilahi. Syukur dengan hati mengantar manusia untuk menerima anugerah dengan penuh kerelaan tanpa menggerutu dan keberatan betapapun kecilnya nikmat.
Syukur ini juga mengharuskan yang bersyukur menyadari betapa besarnya kemurahan dan kasih sayang Ilahi sehingga terlontar dari lidahnya pujian kepada-Nya. Qorun yang mengingkari keberhasilannya atas bantuan Ilahi, dan menegaskan bahwa itu diperolehnya semata-mata karena kemampuannya, dinilai oleh al-Qur'an sebagai kafir atau tidak mensyukuri nikmat-Nya (kisah ini termaktub dalam surah al-Qashash, ayat: 76-82).
Seorang yang bersyukur dengan hatinya saat ditimpa malapetakapun, boleh jadi dapat memuji Tuhan, bukan atas malapetaka itu, tetapi karena terbayang olehnya bahwa yang dialaminya pasti lebih kecil dari kemungkinan lain yang dapat terjadi. Dengan rasa syukur seperti ini seseorang akan jatuh tersungkur sujud untuk menyatakan perasaan syukurnya kepada Allah SWT.
Sujud syukur adalah perwujudan dari kesyukuran dengan hati, yang dilakukan saat hati dan pikiran menyadari betapa besar nikmat yang dianugerahkan Allah. Bahkan sujud syukur dapat dilakukan saat melihat penderitaan orang lain dengan membandingkan keadaannya Meletakkan kening dan dahi ke atas tanah adalah simbolisasi kerendahan dan kehambaan kita dihadapan Khalik, kemudian menyadari dengan nikmat apa saja tidak merubah status manusia dihadapan Allah yang sama-sama sebagai hamba yang "sama". Kesamaan inilah yang menemani kesetiaan dan kesabaran seseorang untuk tetap bertahan pada jiwa yang selalu bersyukur baik pada waktu senang maupun susah.
2 Syukur dengan lidah
Syukur dengan lidah adalah mengakui dengan ucapan bahwa sumber nikmat adalah Allah sambil memuji-Nya. Seperti telah disebutkan di atas, mengajarkan agar pujian kepada Allah disampaikan dengan redaksi "alhamdulillah". Hamdu (pujian) disampaikan secara lisan kepada yang dipuji, walaupun ia tidak memberi apapun baik pada kita (si pemuji) ataupun orang lain, karena memang memuji tidak memerlukan "balasan" untaian kata itu mengalir secara "ikhlas" karena pengakuan yang mendalam atas kekaguman dan ketakjuban.
Jika mata dan hati kita secara sadar menyaksikan singgahsana nikmat yang tak ternilai harganya maka akan terurailah kata-kata sebagaimana firman Allah: "Seandainya kamu (akan) menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan sanggup menghitungnya". (QS. Ibrahim, ayat: 34).
Semua hal yang datang sebenarnya harus kita syukuri tetapi setidaknya secara garis besar kita pantas mensyukuri beberapa nikmat terbesar Allah yaitu: kehidupan dan kematian, hidayah Allah, pengampunan-Nya, panca indera dan akal, rezeki, sarana dan prasarana, kemerdekaan semua nikmat ini sangat besar nilainya dan harus kita syukuri dengan baik.
Masih banyak sebenarnya nikmat-nikmat Allah yang secara khusus kita syukuri, tetapi beberapa nikmat di atas sebagian yang sering disebut-sebut dalam al- Qur'an. Kemudian secara aplikatif nilai syukur ini akan "berharga" bila dilanjutkan dengan gerak-gerik aktivitas kita sehari-hari alias diamalkan dengan perbuatan.
3. Syukur dengan perbuatan
Aktiviti yang bernilai "syukur" bisa dilihat bagaimana kita mengamalkan hidup ini dengan motivasi "ridha" Allah SWT, Nabi Daud a.s, berserta putranya Nabi Sulaiman a.s, memperoleh aneka nikmat yang tiada tara. Kepada mereka Allah berpesan: "Bekerjalah wahai keluarga Daud sebagai tanda syukur". (QS. Saba ', ayat: 13).
Makna bekerja di atas adalah menggunakan nikmat yang diperoleh sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahan. Ini berarti setiap kali ada nikmat Allah kita dituntut merenungkan tujuan nikmat tersebut. Nikmat-nikmat Allah terbentang baik di daratan maupun di lautan, menuntut kemampuan akal kita untuk menghadirkan teknologi yang canggih untuk menggali dan menuai hasilnya.
Dengan "kerja keras" akhirnya setiap insan yang mau bekerja dengan baik akan mendapatkan kesejahteraan hidup. Tetapi yang sangat disayangkan pernah terjadi sebagai iktibar bagi kita dimana pengalaman pahit telah dilukiskan telah terjadi terhadap sekian banyak masyarakat bangsa, kaum Saba ' yang hidup di Yaman dan yang pernah dipimpin oleh seorang Ratu yaitu Ratu Balqis. Diceritakan keadaan bangsa yang kuat persatuan dan kesatuan, nikmat bumi yang subur membuat mereka makmur, tetapi mereka berpaling, dan enggan sehingga akhirnya mereka berserak-serakkan, tanahnya berubah gersang. Tinggallah kenangan yang menghiasi hidup mereka akibat kelalaian untuk
bersyukur pada Allah SWT.
No comments:
Post a Comment